Selasa, 30 November 2010

PETINJU AMATIR SENIOR ELIT DI RUSUN PENJARINGAN





Ketika saya pergi ketempat kebudayaan perancis waktu itu karena untuk keperluan menghadiri sebuah pemutaran dan diskusi film yang berlangsung pada waktu itu saya menjumpai hal yang cukup menarik . Ketika melewati food court rumah susun ( Rusun ) Penjaringan Sari yang kebetulan berjarak sekitar 500m dari kontrakan ternyata ada sebuah Ring / arena tinju yang terpasang di ruang terbuka tersebut . Seketika waktu itu juga saya sangat ingin sekali nonton pertandingan tinju secara langsung seperti ketika nonton di televisi .
Setelah selesai hadir dalam pemutaran dan diskusi film bersama komunitas film berbasis kampus tersebut , saya segera bergegas menuju tempat berlangsungnya pertandingan tinju tersebut . Tapi ternyata pertandingannya sudah selesai beberapa menit yang lalu . Sungguh sial waktu itu , tapi ketika saya bertanya pada salah seorang penjual sego sambel ( nasi sambal ) di tempat tersebut , pertandingan tersebut berlangsung dua kali yaitu hari jumat dan sabtu ( besok ).
Mene ono maneh kok mas , iki mau cuman babak penyisihan tok kok ... ( besok ada lagi kok mas , ini tadi cuman babak penyisihan saja kok ) menurut penjual sego sambel tersebut .

Jumat, 26 November 2010

KOIN dan TAMBAL BANGSA di putar di CCCL



Sangat luar biasa ketika film kita bisa diputar dan di tonton olah banyak orang , “ Campus Movement “ adalah bagian dari program yang dilaksanakan oleh Infis (Independen film Surabaya) dalam bulanan yang mengundang beberapa komunitas film yang berkontribusi pada masyarakat umun di Surabaya.
Jumat sore kemaren ,KOIN film arahan Rio dan teman-teman kinne angkatan 2008 dan TAMBAL BANGSA salah satu film diklat anggota muda kinne 2009 dipersembahkan disitu. Lebih tepatnya Kinne Komunikasi UPN bersanding dengan Sinemetografi Unair untuk hadir dan memutar film serta berdiskusi tentang segala hal mengenai film di kota ini. Namun Keterbatasan waktu membuat kita seakan-akan mebuat diskusi ini tidak berjalan secara optimal,belum lagi ketika film dari kita sendiri mengalami sebuah kendala di bagian teknis. Kendala waktu tersebut yang membuat jalannya acara bisa dibilang molor , tapi hal tersebut bisa segera diselesaikan .

Kain Merah Pantang Menyerah


Ditulis Oleh : Cahyo Wulan Prayogo dan Dian Komala


Pertigaan itu takkan terlihat sepi akan keramaian

Tiang itu terlihat sangat tinggi menjulang kearah langit beserta kain merah pantang menyerah seketika

Semangat luar biasa yang takkan pernah ada sedikit rasa beban dan pikiran

Kekhawatiran itu timbul karena ada keinginan untuk merubah walaupun hanya sedikit saja

Keramaian kota yang terjadi di ruas-ruas kota besar sangatlah wajar terlihat di mata masyarakat kita, tidak harus di jalan utama kota. Di jalan sekitar kota pun tidak lagi sepi akan pengguna jalan yang berujung kemacetan lalu lintas. Keberadaan polisi cepek sangat membantu kinerja petugas kepolisian dalam mengatur jalan yang begitu ramai di sepanjang jalan perkotaan, akan tetapi di samping itu pula, masyarakat banyak juga yang berasumsi bahwa kehadiran polisi cepek hanya menghambat laju perjalanan hingga menambah kemacetan jalan saja. Itulah sedikit potret permasalahan kemacetan yang sering terjadi di kota-kota besar saat ini.

Surabaya, kota dengan mobilitas transportasi darat dan perdagangan yang setiap harinya akan selalu bertambah ini akan sangat sering kita jumpai banyak sejumlah polisi cepek yang berkeliaran di sepanjang jalanan kota. Sebagian besar pekerjaan tersebut dikelola oleh penduduk sekitar, seperti para pengangguran dan preman setempat yang terkadang tidak bersikap sopan ketika menjalankan aktifitasnya dalam mengatur lalu lintas jalan tersebut. Di pertigaan jalan Kutisari menuju arah Jemursari dan rungkut industri ini terdapat sebuah pemandangan serta aktifitas menarik mengenai kinerja polisi cepek yang beroperasi di sekitar pertigaan tersebut,.

Di pertigaan Kutisari itu terdapat lelaki paruh baya yang rela menghabiskan hari-harinya untuk mengatur lalu lintas di pertigaan jalan tersebut demi kenyamanan pengguna jalan yang melintas di situ. Sutrisno nama lelaki itu, Pak Tris panggilannya dan biasa disebut Pasukan oleh warga sekitar tempat tinggalnya karena beliau sering kali bangun pagi – pagi dan melakukan jalan – jalan santai sambil menirukan gaya tentara komando ketika sedang latihan perang.

Seperti pada umumnya yang terkesan dipikiran kita seorang polisi cepek hanya bekerja dalam kondisi sewajarnya dengan menggunakan pelindung tubuh atau busana hanya untuk menutupi bagian tubuh agar terhindar dari terik matahari dan debu-debu yang berhamburan di jalanan. Panas dan debu tidak menjadi halangan bagi dirinya, justru malah sebaliknya. Dengan bakat dan kemampuannya membuat sesuatu lebih menarik sejak beliau duduk di bangku sekolah dasar, sehari-hari Pak tris bekerja mengatur lalu lintas dengan mengenakan kostum atau dandanan yang unik. Kostum yang pernah dipakai mulai dari tentara romawi, orang-orang kepercayaan raja kuno pada masanya, malaikat pencabut nyawa, tokoh agama, atlit olahraga, dan sebagainya. Sungguh aktifitas yang sangat menarik menurut saya jika melintas di pertigaan jalan tersebut, selain kita disuguhkan oleh penampilan serta gaya unik yang setiap hari akan ganti edisinya, kita bisa tahu lebih jauh gimana serunya aksi Pak Tris dalam mengatur lalu lintas di pertigaan tersebut hingga para pengguna jalan tersebut akan merasa sedikit terhibur dengan kehadiran beliau sebagai polisi cepek di situ .

Saat kedatangan tamu dari Jakarta yaitu Ageung, saya bercerita tentang Pak Tris ini yang selalu berkostum saat menjalankan tugasnya sebagai Polisi Cepek. Ageung pun ingin ikut ketika saya ingin memotret Pak Tris untuk keperluan tulisan ini. Berangkatlah kami menuju jalan Kutisari tempat di mana Pak Tris bekerja. Diperjalanan Ageung terus saja bertanya-tanya tentang Pak Tris ini. Karena dulunya Ageung sempat membuat tulisan tentang Polisi Cepek di Lenteng Agung.

Sesampainya di sana saya langsung memotret Pak Tris, sedangkan Ageung menunggu di pinggir jalan sambil terus melihat Pak Tris yang sedang mengatur lalu lintas dan berpakaian lengkap Polisi. Dengan aksesoris yang terjangkau, kertas berwarna emas disulapnya menjadi seperti pangkat layaknya Pak Polisi berpangkat tinggi. Terlalu sibuk dengan kegiatan saya memotret, ketika saya melihat ageung lagi, dia sudah dikerumini oleh anak-anak warga sekitar. Ada sekitar 5 orang anak, yang akhirnya saya ketahui bernama Titin, Anas, Sherli, Bagus dan Renal. Ageung terlihat lebih asyik bersama anak-anak itu. Karena merasa cukup dengan hasil foto yang saya dapat, saya menghampiri Ageung. Ageung langsung meminjam kamera foto yang saya pegang. Dia pun memotret anak-anak itu. Dengan berbagai gaya lucu, anak-anak itu terus dipotret Ageung.

Tak lama Pak Tris menghampiri kami dan mengajak saya mengobrol tentang yang nanti dia akan pulang untuk merayakan hari raya idul adha bersama keluarganya di Banyuwangi. Pak Tris meminta saya untuk menelpon keluarganya di Banyuwangi, untuk memberitahukan akan kepulangannya. Memberi kabar lewat telepon adalah salah satu keinginannya mengenai kabar saudara-saudaranya yang tinggal jauh darinya. Ketidakmampuan mengelola kemajuan teknologi informasi adalah salah satu faktor penghambat beliau dalam menjangkau hubungan komunikasi dengan rekan-rekan di kampung halamannya. Dan beliau sadar akan pentingnya hal itu, maka saya selalu berusaha menghubungkan beliau dengan saudara-saudaranya lewat obrolan telepon melalui ponsel pribadi saya.

Setiap hari nyentrik dan harus selalu bergaya. Tapi bagi beliau kostum hanyalah bonus saja dan fokus utamanya adalah mengatur lalu lintas. Ketika saya menanyakan kapan Pak Tris memakai pakaian pocong, beliau langsung bilang “Besok saya pake pocong!” tersenyumlah saya dan Ageung. Kami pun berencana untuk kembali besok.

Seperti halnya ketika ada sebuah peringatan kenaikan kisah Isa Almasih , beliau mengenakan kostum Pastur model Eropa ala Pak Tris tentunya. Peringatan hari – hari besar serta momen – momen tertentu yang terkadang menjadi sebuah patokan kostum tapi tidak menutup kemungkinan sesuai permintaan pengguna jalan yang melintas disitu.

Saya dan Ageung menepati janji, keesokannya kami datang kembali. Dari kejauhan kami tidak melihat kain merah berkibar di tengah pertigaan itu seperti biasanya. Ternyata Pak Tris sedang berada di becak semata wayangnya yang dia beli seharga 5000 rupiah pada waktu sekitar akhir masa orde baru yang lalu dari seorang pengumpul barang bekas yang masih bagus pada saat itu katanya. Becak ini juga sebagai alat transportasi dari rumahnya yang berjarak sekitar 500 meter menuju pertigaan Kutisari.

“Seram” kata itu yang pertama keluar dari mulut ageung ketika melihat dandanan Pak Tris yang memakai kostum pocong. “Lucu” kata itu pun keluar dari ageung, ketika melihat balon dan terompet-terompet tahun baru menggantung di bagian pinggang belakang Pak Tris. Pocong dengan balon dan terompet, antara seram dan lucu. Sebatang rokok dinyalakannya, untuk menemani bekerja mengatur lalu lintas. Pocong gaul, pocong merokok.

Seperti halnya kemarin, saya memotret sedangkan Ageung bercengkrama bersama anak-anak. Anak-anak itu menunggu untuk dipotret lagi. Semuanya terulang seperti kemarin yang tidak ada bosannya. Ageung asyik dengan anak-anak itu, sedangkan saya terlalu asyik menyaksikan pocong berbalon mengatur lalu lintas.

“Besok pakai baju apa Pak?” tanya saya kepada beliau.

“Maunya apa, kerajaan romawi?” beliau menerima request kostum.

“Boleh Pak”

Besok kami pasti akan kembali yang tidak ada habisnya.

halte dan toko bunga









HALTE DAN TOKO BUNGA ???








Hidup di belantaran pinggir sungai tak mengurangi semangat bertahan hidup bagi orang–orang yang masih berdiri kokoh di sepanjang halte bus atau angkot (angkutan kota) sepanjang Jembatan Merah, Surabaya. Waktu itu sebelum pergi ke Penjara Kalisosok , saya ditemani Soni untuk berkunjung ke tempat tersebut. Saya melihat keriangan keluarga yang tak ternialai harganya.

Karena di sepanjang halte tersebut terdapat beberapa orang yang bertempat tinggal di situ, salah satunya Pak Buang. Bapak dari 9 orang anak ini berprofesi sebagai tukang becak pada awalnya, sekarang ia sudah tidak bisa mengayuh becak lagi karena kondisi fisik yang termakan umur membuatnya diam diri di pinggir jalan depan Jembatan Merah Plaza tersebut sambil membuka lapak tambal ban di sana.

Tinggal dan menetap di sepanjang halte tersebut merupakan sebuah kenikmatan tersendiri bagi Pak Buang sekeluarga, kebersamaan hidup secara berdampingan adalah modal awal keluarga ini yang bertahan sejak tahun 1970 hingga sekarang. Ketika saya berkunjung ketempat itu, nampak istri Pak Buang sedang asyik menguliti bawang merah untuk dijualnya di Pasar Pabean ketika malam hari nanti.

Di samping itu pula, cucu–cucu Pak Buang sedang asyik bermain dan bersenda-gurau satu sama lain di sepanjang trotoar halte tersebut, walaupun sore itu cuaca sangat panas sekali. Saya tetap ngobrol banyak bersama Pak Buang dan Soni pun asyik dengan kameranya untuk memotret wajah–wajah ceria yang timbul dari cucu–cucu Pak Buang.

Biasanya halte ini sepi akan jam–jam tertentu dan akan kembali ramai pada jam–jam tertentu pula, ketika banyak orang menunggu dan turun dari bus atau angkot yang ditumpanginya. Namun, sekarang sudah berubah. Halte tersebut sekarang sudah berubah menjadi tempat pedagang- pedagang untuk berjualan bunga dan keperluan tanam–menanam lainnya. Nampak banyak sekali pedagang yang memajang barang dagangannya untuk ditawarkan ke calon pembeli yang turun dari bus dan angkot atau sekedar jalan melewati halte tersebut. Tetapi ada juga yang berjualan helm dan membuka warung santai di situ.

Kalau hari sudah menjelang sore, anak laki-laki Pak Buang bersama teman–temannya asyik bermain air di sungai sambil mencari ikan -ikan untuk dimasak bersama keluarga.

“Lumayan Mas, buat lauk makan keluarga,” kata Pak Buang sambil tertawa.

Awalnya Pak Buang sempat takut ketika saya berkunjung menemuinya, karena dulu sering sekali ia didatangi oleh orang–orang yang tidak dikenal dan mencari informasi mengenai beliau. Lalu beberapa hari kemudian sejumlah aparat dari pemerintah kota mengobrak dan mengusir kediamannya secara tiba–tiba dan tanpa pemberitahuan awal. Tapi ia tetap sabar menjalaninnya dan kembali lagi ke tempat tersebut.

Ketika malam hari mereka nampak serasi dalam menata ruang tidur, karena tempat tidur yang mereka singgahi adalah tempat parkir biro jasa tentang kepemilikan tanah yang ada di sebelah kirinya menuju ke arah Tugu Pahlawan Surabaya. Meskipun beberapa anak Pak Buang sudah berkeluarga dan mempunyai tempat tinggal sendiri, terkadang sebagian cucu–cucu Pak Buang sering kali tidak mau pulang dan senang tidur bersama di situ .

Di bagian belakang tempat tinggal Pak Buang , terlihat dapur yang biasa dipakai untuk masak-memasak dan sejenisnya, karena tempatnya yang menjorok ke sungai. Maka sangat terlihat sekali sampah atau limbah cucian yang berserakan di situ , di seberang dapur terlihat truk-truk besar sedang bongkar-muat barang dan ke luar masuk gudang.

Tepat di sebelah kiri tempat Pak Buang tinggal ada tempat parkir yang sering ramai ketika orang–orang datang berangkat kerja dan menitipkannya di situ, karena kebanyakan orang-orang yang parkir di sana adalah orang–orang yang bekerja di luar Kota Surabaya seperti Gresik, Lamongan, Babat, dan sebagainya. Mereka menitipkan motornya di situ untuk kemudian naik angkot maupun bus sesuai dengan tujuan yang diinginkan, mungkin untuk menghemat tenaga.

Hingga kini Pak Buang masih menghabiskan waktunya bersama keluarga untuk tinggal di bawah halte tersebut, entah sampai kapan mereka bertahan dan mempunyai keinginan untuk pindah ketempat lain.

.